Samidh atau samit berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kayu bakar
UNPAK – Bumi adalah rumah bagi setiap mahluk hidup yang tinggal didalamnya. Pemanasan global yang terjadi di bumi ini sudah tidak asing lagi di telinga kita semua.
Dalam upaya menjaga kelestarian alam dan memelihara lingkungan, Universitas Pakuan menerapkan konsep Green Campus yang merupakan salah satu bentuk pelestarian keseimbangan alam, khususnya di tengah kota Bogor ini perlu dilakukan/diadakan penghijauan (GreenCity) bersama-sama menjaga bumi ini menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali.
Penanaman Pohon Samida di lingkungan kampus Universitas Pakuan (Unpak) dilaksanakan pada hari Rabu, 11 November 2020 yang secara langsung dilakukan penanaman pohon samida oleh bapak rektor Prof. Dr. H. Bibin Rubini , M.Pd. dan segenap pimpinan Unpak serta Dr. Usep Sutisna (botanis sekaligus budayawan) dan Rd. Ace Sumanta (Budayawan Kota Bogor).
Mengenal Pohon Samida
Dalam kisah lama tentang asal muasal kota Bogor, disebutkan Samida atau hutan buatan yang berada di tengah kota. Dan sejak tahun 1533, istilah Samida juga telah tercatat dalam sebuah prasasti berupa lingga batu yang di tanam.
Ahli arkeologi menduga prasasti tersebut dibuat pada masa kerajaan Sunda yang kemudian dinamakan Prasasti Batutulis. Penamaan tersebut didasarkan pada letak prasasti yang secara insitu berada di daerah Batutulis-Bogor.
Berkaitan dengan samida, nyiyan samida (membuat hutan yang kayunya khusus digunakan untuk upacara pembakaran mayat). Kayu samida seperti cemara yang mengandung terpentin dan mudah terbakar. Dan bila merujuk pada kamus bahasa kawi, kata samiddha,
Samidh atau samit berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kayu bakar. Diartikan pula bahwa Samida merupakan hutan buatan. Hutan yang ditanami pohon-pohon kayu yang dibutuhkan untuk pembakaran jenazah.
Tahun 1474-1513 Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari kerajaan Pakuan Pajajaran memerintah membangun Samida sebagai sebuah upaya menjaga kelestarian alam dan memelihara benih-benih kayu langka.
Di duga, hutan buatan tersebut diperuntukkan sebagai banteng pertahanan alam sebagai kamulflase dari serangan Jayakarta. Namun sejarah berkata lain, Jayakarta ataupun Belanda tak pernah menyentuh Pakuan Pajajaran. Saat itu, kerajaan Sunda tengah surut oleh perpecahan kekuasaan.
Bahkan akhirnya runtuh oleh serangan pasukan Banten pimpinan Maulana Hasanudin. Setelah itu, untuk waktu yang lama kawasan Pakuan terlupakan sebagai “Daerah tak bertuan”. Namun, Samida sebagai hutan kota tetap tegak ditempatnya.